Saturday, February 28, 2009

Pengembangan Wilayah di ASEAN

Pada posting sebelumnya (Perencanaan Wilayah Perbatasan), mengenai pengembangan wilayah perbatasan, muncul pertanyaan: apakah orientasi pengembangan perbatasan masih "defence minded" atau "kerja sama (ekonomi)" antar negara yang berbatasan. Berita di bawah ini merupakan jawabannya.

Dari Hua Hin, Harian Kompas (1-3-2009) mengabarkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan ingin mendorong perkembangan kawasan pertumbuhan di ASEAN yang mencakup Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pihak swasta juga diajak berpartisipasi. Seiring dengan itu, Indonesia, Malaysia, dan Thailand sepakat untuk semakin mendorong pembangunan kawasan segitiga pertumbuhan, Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-Growth Triangle), melalui pengembangan lima koridor infrastruktur di kawasan tersebut. Untuk itu, para pemimpin ketiga negara akan menyiapkan fasilitas bagi pemerintah daerah dan pelaku bisnis setempat.

Presiden SBY memimpin dua pertemuan para kepala negara subregional ASEAN, yakni IMT-GT dan Brunei-Indonesia-Malaysia- Philippine East-ASEAN Growth Triangle (BIMP-EAGA), di Hua Hin, Thailand, Sabtu (28/2).

IMT-GT

IMT-GT merupakan kerja sama subregional dengan fokus peningkatan investasi, terutama bidang agroindustri dan industri berbasis sumber daya alam di Thailand selatan, Malaysia utara, serta Pulau Sumatera.
Lima koridor yang akan dikembangkan di IMT-GT bertujuan menghubungkan Songklah-Penang- Medan, Selat Malaka, Banda Aceh-Dumai-Palembang, Malaka-Dumai, serta Ranong-Phukket-Aceh. Koridor ini antara lain berupa prasarana jalan, pelabuhan, dan layanan angkutan laut serta penerbangan murah yang menghubungkan daerah-daerah dalam kawasan subregional tersebut.

Sekarang tengah dibahas bagaimana cara untuk lebih memudahkan perdagangan lintas batas. Hal yang terbaik adalah meningkatkan investasi, perdagangan, turisme, dan kemakmuran ekonomi. Tadi memang diusulkan adanya mekanisme dan bagaimana agar kerja sama ini dapat dibahas secara lebih menyeluruh,” papar juru bicara kepresidenan, Dino Pati Djalal.

BIMP-EAGA

Sejajar dengan itu, kerja sama BIMP-EAGA difokuskan pada sejumlah provinsi di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku sebagai bagian dari kawasan subregional dengan Brunei, Filipina, dan Malaysia. Kerja sama subregional ini antara lain untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi, terutama di kawasan perbatasan, meningkatkan perdagangan, pariwisata, dan investasi mela- lui fasilitas pergerakan masyarakat.

Saya ingin betul mendorong swasta daerah dan pemerintah provinsi-provinsi untuk melibatkan kabupaten dan kota untuk lebih aktif lagi mencari peluang. Meskipun kerangka dan kebijakannya bagus, kalau pemerintah daerah dan pelaku usaha di daerah tidak proaktif, saya kira peluang yang kita dapatkan tidak banyak,” ujar Presiden SBY.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintah dan pelaku usaha di daerah juga harus mengidentifikasi proyek-proyek yang bisa menjadi fokus kerja sama subregional, sementara pemerintah pusat mencoba mengatasi kendala infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan subregional tersebut. ”Misalnya di Sulawesi dan Filipina itu kerja sama bisa fokus pada perikanan,” ujar Mari.

Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Haruhiko Kuroda juga menghadiri pertemuan IMT-GT dan BIMP-EAGA. Kuroda telah menyampaikan komitmen untuk turut membantu akselerasi pengembangan kawasan segitiga pertumbuhan itu.

Pertemuan para kepala negara di kawasan subregional ini juga dihadiri Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. ”Untuk delapan wilayah di Indonesia yang masuk segitiga pertumbuhan ini (IMT-GT) telah disiapkan Rp 12 triliun,” kata Dino.

Kutipan berita di atas mengundang pemikiran, agar perkembangan dalam kerjasama pengembangan wilayah ASEAN di atas tentunya perlu segera ditindak lanjuti dengan pengembangan inisiatif di tingkat daerah yang termasuk di dalamnya. Dukungan kebijakan sudah ada, janji dukungan investasi prasarana antar negara, juga janji bantuan pinjaman dari ADB. Tinggal daerah mengembangkan perencanaan wilayahnya selaras dengan peluang-peluang tersebut. Ini layak menjadi topik diskusi selanjutnya. [Risfan Munir]

Sunday, February 22, 2009

Solusi Perencanaan Wilayah dan Kota

Menanggapi luasnya ragam permasalahan pembangunan, pengangguran, kemiskinan, lingkungan hidup, pantai dan pulau kecil, pemanasan global, bencana alam, dst. Menurut saya pelu lebih banyak ragam pilihan solusi dan saran dari profesi Planologi.Ini saya sampaikan karena ada kesan kok - untuk masalah pembangunan apapun, solusi yang ditawarkan ya: sistem kota-kota dan land-use. Apa tidak ada alternatif solusi lain?

Saya pernah baca buku, misalnya, "Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: SDA, SDM, Teknologi." buku yang diterbitkan oleh BPPT, (seingat saya kata pengantar ditulis oleh Aunur Rofiq). Buku alternatif seperti ini tentu menawarkan alternatif lain: yaitu saran strategi/ program pengembangan SDM, pendaya-gunaan SDA daerah, dan strategi penerapan/pemilihan / transfer teknologi.Ini sekedar contoh agar dalam pencarian solusi, seperti dalam kasus pengembangan wilayah perbatasan atau tertinggal, ada perspektif lain.

Urbanisasi adalah transformasi dari sifat desa ke sifat kota, dari peramu/petani ke kegiatan perkotaan. Bukan menggiring orang pindah (resttlement) ke kota. Jadi aspek pengembangan SDM,SDA, teknologi itu sangat penting.Dalam dunia perencanaan, sekarang ada berapa wacana setidaknya:(1) perencanaan tata ruang; (2) perencanaan pembangunan daerah; (3) pengembangan wilayah sektoral: pariwisata, industri, pertanian; (4) community development planning, dst.

Perencanaan pembangunan daerah misalnya, dengan format populernya RPJMD. Ini merupakan mandatori dari Otnomi Daerah bagi kepala daerah terpilih. Metodenya terutama strategic planning, plus aspek programming dan budgeting, serta kelembagaan.

Perencanaan wilayah sektoral, misal: Rencana Induk Pengembangan Pariwisata; Rencana Induk Pembangunan Perumahan; RP Daerah Aliran Sungai; RP Kawasan Industri. Yang kuat muatan teknis sektoralnya, tapi metodenya gabungan perencanaan spatial dan strategic planning.Keempat, community development planning. Ini lebih informal, banyak diterapkan dalam program pembangunan masyarakat desa, PNPM, PPK, P2KP, CSR perusahaan besar. Content nya mengarah ke pengembangan SDM, SDA, teknologi, juga kelembagaanBeberapa aspek itu bisa jadi wacana Solusi Planologi, more than just "sistem kota-kota dan land-use plan". Semuanya masih dalam lingkup "core competence" planner, yaitu planning & management wilayah atau daerah. [Risfan Munir]

Perencanaan Wilayah Perbatasan (2)

Memang wilayah perbatasan banyak ragamnya. Dari perbandingan kemakmuran misalnya: pada perbatasan dengan Singapore, Malaysia, Brunei umumnya wilayah perbatasan kita penduduknya lebih miskin dibanding seberangnya. Tapi wilayah perbatasan dengan PNG, Timor Leste nampaknya di wilayah itu penduduk kita kondisi ekonominya lebih baik.Berpikir mengenai wilayah perbatasan (bukan wilayah tertinggal) mungkin ada baiknya melihatnya juga dalam konteks "regional" ASEAN dan West Pacific. Dimana posisi wilayah-wilayah perbatasan kita dalam konteks kerjasama antar negara/bangsa dalam region tersebut.

Apa yang bisa dimanfaatkan dalam situasi dan kondisi region itu bagi "wilayah-wilayah perbatasan" kita.Dalam kasus wilayah perbatasan dengan Malaysia dan Brunei, wilayah kita kaya akan SDA yang masih perawan, jumlah penduduk sedikit. Sementara ini pemerintah kita menelantarkannya, dan hanya menaruh perhatian kalau ada kasus-kasus saja.

Kenapa pemerintah menaruh prioritas rendah, mungkin karena terhadap pusat Orde-1 Jakarta, wilayah perbatasan itu hirarkhinya "di ujung kelingking kaki". Padahal kalau kita berfikir geo1konomi, geo-politik antar negara di ASEN, West Pacific posisinya terdepan.Mengapa Menteri Malaysia peduli? Tentu karena pertimbangan kerjasama regional. Ada keuntungan yang diperoleh secara ekonomi, misalnya banyaknya pengusaha HPH terkait dengan Malaysia. Tetapi ada alasan lain seperti potensi "gangguan keamanan" misalnya.

Menurut saya, sekali lagi, dengan mempertimbangkan potensi SDA, daya tarik bagi tetangga, serta kondisi ketidak-mampuan pembiayaan dari pemerintah untuk membangun prasarana. Alternatif yang layak dipertimbangkan ialah mengundang investor dengan memberi konsesi seluas-luasnya (dalam koridor hukum dan kelayakan) untuk mengembangkan kawasan-kawasan yang layak dan potensial di wilayah perbatasan dengan Malaysia dan Brunei, dengan kewajiban membangun prasarana, khususnya transportasi.

Sekali lagi, wilayah perbatasan adalah "beranda depan" dalam konteks kerjasama/persainga n antar bangsa di region ASEAN dan West Pacific.

Dalam kamus perencanaan kita sebaiknya dimuat juga IMT-GT, BIMP-EAGA, dst. Karena bagi warga wilayah perbatasan, mungkin pusat pelayanan kota Utama/ Orde-1 bukanlah Jakarta. TKI asal pulau Jawa, Madura, NTB, NTT saja kalau ber"urbanisasi" ke Kuala Lumpur, Jahor, Singapore. Warga perbatasan, apalagi.Mungkin akan bermanfaat kalau kunjungan Manteri Malaysia itu ditindak-lanjuti dengan kerja sama antar Sekolah Perencanaan, asosiasi profesi perencana (IAP) se ASEAN, West Pacific yang berbatasan, untuk tukan pandang, tukar konsep tentang pengembangan wilayah perbatasan.[Risfan Munir]

Perencanaan Wilayah Perbatasan (1)

Sistem kota-kota bukanlah soal menempatkan penduduk dengan satuan permukiman, tapi apa kegiatan ekonomi yang membuatnya layak tinggal disitu.Mata rantai koleksi-distribusi? Apa yang dikoleksi dan distribusi? Kalau fasos bisalah pemerintah membangun. Tapi kalau kegiatan ekonomi, kan dunia usaha atau masyarakat sendiri.Apa yang khas, jadi keunggulan geografis wilayah perbatasa? Mungkin per"beda"an sana dan sini yang dicari. Apa yang disini murah tapi disana mahal, disini ada tapi disana tak ada, yang disana dilarang tapi disini masih boleh.

Border zone antara USA dengan Mexico, misalnya. Di sisi Mexico buruh murah, land rent rendah, aturan longgar. Sehingga banyak manufacture dibangun di sisi Mexico, dengan pasar untuk USA.Dulu orang Indonesia senang kalau ke Batam bisa belanja barang ex Singapore. Sekarang banyak orang Singapore yang belanja garment di Batam, karena harganya relatif murah. Beda nilai mata uang a.l. yang bisa menguntungkan sisi Indonesia.Sepanjang borderline Indonesia - Malaysia di sisi kita mayoritas adalah wilayah yang tak terurus, nilainya tidak kita perhatikan. Sementara di sisi seberang relitif dinilai tinggi oleh Malaysia, Brunai. Mestinya perijinan pembukaan kawasan untuk investasi skala besar lebih murah dilakukan di wilayah Indonesia.

Beri investor konsesi dan kemudahan yang luas, berbagai pengecualian. Tapi minta mereka membangun prasarana, terutama transportasi.Tak tertutup bagi investor dari Malaysia, Brunei, Singapore atau lainnya, termasuk dari Indonesia.

Sekali lagi, memanfaatkan potensi SDA dan lokasinya yang strategis menjangkau berbagai negara.Beberapa waktu yang lalu saya ketemu rekan yang Deputi di Kementerian Daerah Tertinggal. Saat bicara topik ekonomi lokal/wilayah, beliau bilang pendekatannya juga diarahkan ke pembangunan skala besar, berbasis usaha. Bukan sistem permukiman kecil-menengah, yang belum jelas kegiatan ekonominya. [Risfan Munir]

Thursday, February 19, 2009

Perencanaan Pengembangan Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia

Diskusi di milist “referensi” sepertinya yang dibahas menjurus ke daerah perbatasan dengan Malaysia, Brunei sementara ada perbatasan dengan Singapore, Papua New Guinea, Timor Leste juga batas laut dengan Filipina yang situasinya berbeda.

Kalau fokus perbatasan dengan Malaysia (Kalimantan), beberapa ide bagus, tapi kok masih seperti perencanaan permukiman transmigrasi, yang begitu-begitu saja. Sulit dibayangkan akan mencegah 'brain-drain' . Apalagi dana pembangunan prasarana tak ada. Mungkin Indonesia perlu berfikir jauh lebih maju.

Masalahnya kita menganggap perbatasan itu "kawasan belakang", sehingga tertinggal terus dalam prioritas. Kalau memang serius maka perlu paradigma beda. Anggap kawasan perbatasan sebagai "kawasan terdepan" dalam persaingan dan kerjasama antar negara. Bangun perbatasan bukan sebagai "kawasan/pusat desa" dengan hirarkhi terendah.Undang pengusaha besar, beri mereka untuk mengembangkan plantation skala besar, kawasan industri tertentu, kawasan eksklusif. Karena keterbatasannya adalah tak ada prasarana, jauh dari permukiman, butuh investasi besar. Maka kompensasinya, beri mereka konsesi yang lebih banyak soal tax dan kemudahan, karena tujuannya adalah pioneering.

Kaji industri, agriculture atau kegiatan ekonomi apa yang cocok untuk geografi dan lokasi antar negara, jauh dari permukiman seperti itu. Kembangkan konsep perencanaan pengembangan wilayah perbatasan yang memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah perbatasan kita, dibanding tetangga. Misalnya, buruh relatih lebih murah, SDA melimpah, ditambah kemudahan-kemudahan lainnya.

Diskusi juga dengan Arifin Panigoro, MS Hidayat, Siswono, Ciputra, LIPPO dan pengusaha besar lain yang pengalaman mengembangkan kawasan jadi modern. Intinya, perlu melihat kawasan perbatasan sebagai wilayah terdepan dalam pesaingan/persahabatan antar negara, bukan wilayah belakang. [Risfan Munir]

Monday, February 16, 2009

Pengembangan Wilayah Papua

Pilihan Papua pada "people driven development strategy" (seperti disampaikan Nuzul Achjar) merupakan suatu kewajaran. Setelah bertahun-tahun "corporate driven" yang diandalkan pemerintah ternyata "lokomotif"nya maju sendiri, sementara sebagian besar "gerbong"nya atau masyarakatnya tertinggal. Yang ini sebetulnya berlaku juga di pulau Jawa sekalipun.

Mengenai keanekaragaman kondisi antar daerah/sub-wilayah di sana, sudah jelas. Dan, metode pengembangan wilayah memang biasanya diawali dengan identifikasi wilayah, lalu perwilayahan berdasarkan "kesamaan karakter" dan hubungan "keterkaitan dan ketertarikan" antar subwilayah.

Lebih fokus tentang pengembangan UMKM sebagai salah satu fokus pengembangan, terutama terkait dengan produk kayu, kita tahu bahwa potensi SDA kayu disana besar. Tiap hari masyarakat menyaksikan log-log diekspor tanpa mereka sempat menikmati added-value nya.
Kalau bicara potensi SDM, dalam kerajinan, ada tradisi suku Asmat antara lain yang kerajinannya sudah terkenal. Pokoknya tradisi keterampilan itu ada, pada beberapa komunitas, tinggal dikembangkan. Pengembangannya bisa dengan pelatihan, magang ke Jepara, Klaten, Pasuruan, dst. Disamping juga bisa "mengundang" pengrajin asal sentra-sentra yang maju tersebut untuk menularkan keterampilannya ke sentra-sentra kerajinan sejenis di Papua.
Dalam hal transfer knowledge & skill ini banyak lembaga nasional seperti BPPT, Menristek, Deperin, Men KUKM, lembaga-lembaga donor yang bisa diajak membantu.

Bicara UMKM permasalahannya biasanya seputar 6M (man, money, meterial, method, market, management). MATERIAL yaitu potensi raw material yang melimpah. Money - katanya ada alokasi dari Provinsi dan sumber lain. MANusia - menyangkut keterampilan di atas. METHOD - ini terkait teknologi produksi, yang perlu diintrodusir tentang "appropriate technology". Jaman sekarang ada Onno Purbo yang membuat ITC menjadi barang murah dengan teknologi ala "parabola dari wajan". Ada Tri Mumpuni yang membuat kali-kali jadi sumber energi mikrohidro yang ada dimana-mana, tak perlu jaringan tegangan tinggi, kalau memang belum sampai.

MARKET - pada masa kini (new economic geography?) sistem manufaktur banyak yang menganut deassembling, yaitu proses produksi yang dipecah-pecah. Di Pasuruan, mebel yang dibuat mayoritas "setengah jadi", yang dibawa ke kota-kota lain untuk di"furnish". Di China banyak produk diproduksi begitu, bahkan lintas negara (Korea, Taiwan, Vietnam). Jadi secara bertahap para pengrajin di Papua di desa-desa kerajinan/industri kecil dapat membuat komponen-komponen yang sudah bisa mereka buat. Produk tersebut ditampung oleh sentra-sentra yang lebih besar, untuk prosessing selanjutnya. Finishing di situ atau di propinsi lain.

PRASARANA - ini adalah faktor penunjang utama, karena berpengaruh besar dalam supply-chain produksi. Jangka pendek bisa mengandalkan desa-desa pantai yang transportasinya lebih mudah, tak terkendala jaringan jalan yang terbatas. Selama ini DJPR/PU juga punya konsep-konsep "pengembangan Agropolitan" dengan perencanaan jaringan prasarananya. Konsep urban-rural linkage kan masih diterapkan juga dia banyak bidang dan daerah. Bisa dikaitkan dengan program-program dibawah payung PNPM yang punya komponen prasarana desa juga.

Meyakinkan hal seperti ini ke semua pihak, pelaku dan "penonton", memang sulit. Untuk itu perlu lokasi-lokasi yang kondisinya relatif lebih siap untuk dijadikan "percontohan". Sehingga ada contoh sukses untuk bisa direplikasi. [Risfan Munir]

Sunday, February 15, 2009

Mazhab dalam Pengembangan Wilayah (2)

Rekan Aunur Rofiq menyarankan agar melihat juga aspek kelembagaan. Terima kasih atas masukannya. Memang betul aspek "kelembagaan" dalam pembangunan adalah hal yang mendasar.

Dulu anggapan yang dominan adalah seolah kata "pembangunan" itu milik pemerintah semata. Tapi belakangan kian berkembang kesadaran kerjasama dengan "swasta". Pembangunan banyak diarahkan untuk memfasilitasi peran swasta.

Yang masih terbatas pengakuannya adalah peran "masyarakat" . Padahal kalau melihat pelayanan pendidikan, kesehatan, sangat banyak sekolah dan rumah sakit, poliklinik yang dibangun oleh organisasi masyarakat seperti yang berafiliasi keagamaan. Begitu pula dalam pengelolaan sumber daya, banyak oraganisasi kelompok petani, nelayan, buruh. Mereka tidak hanya peduli eksploitasi, tapi juga pelestariannya. Namun dalam proses kebijakan publik kok belum dilibatkan secara proporsional.

Sederhananya, kalau kita pakai "mata burung elang" (bukan iklan partai lho) dari atas sebuah kota besar, melihat bangunan yang ada. Berapa persen sih yang dibangun pemerintah, berapa swasta, berapa yang swadaya masyarakat?

Namun demikian, masing-masing individu/pihak tetap akan punya keyakinan untuk bias ke pemerintah, swasta, swadaya masyarakat, atau hibrida di antaranya. Untuk itu selalu perlu dilakukan mapping pandangan, analisis stakeholders yang memetakan paham, kepentingan, peran dan potensi masing-masing aktor yang terlibat dan terkena dampak dari kebijakan yang sedang disusun dan diputuskan. Ini berlaku untuk kebijakan kelautan & perikanan, maupun penataan ruang, pemberdayaan KUKM, dan kebijakan publik lainnya. [Risfan Munir]

Mazhab Pengembangan Wilayah (1)

Dalam diskusi perencanaan pengembangan wilayah sering muncul perdebatan, fokus dsri kota atau dari desa, bottom-up atau top-down, dan seterusnya. Oleh karena itu, ada baiknya faham-faham, mazhab-mazhab dalam pembangunan dikenali. Ini setidaknya supaya kita tahu seseorang bicara dari sisi mana. Semacam peta dari mazhab: asumsi, pendekatan, rekomendasi khasnya, bias dan kelemahan-kelemahan nya. Sederhananya, biasanya ada dua ekstrem: pro-kapital vs pro-rakyat, dengan berbagai ekspresi seperti "conservative vs labour", "neoclassic vs lawannya". Dan, tentu ada varian di antaranya, ditambah pada kepedulian pada environment, gender, human right, pro-local, dst.

Setiap implementasi rencana pembangunan, suka tak suka dihadapkan pada pilihan "mulai dari mana". Yang konservatif, biasanya mulai lokomotif, stimulus diberikan pada perusahaan (besar), pemodal. Dengan harapan kegiatan lain akan ikutan (trickle down effect). Yang sebaliknya, tidak percaya itu, karena dalam kasus negara berkembang, trickle down effect itu kecil sekali, sebaliknya back-wash effectnya yang mengeleminir usaha kecil, lokal yang lebih dominan. Maka pendekatan sebaliknya, yang mulai dari "bawah", yang memberi stimulus pada kegiatan mikro/kecil, padat karya, lokal yang diyakini lebih tepat.

Pandangan dan pendekatan yang sudah menjadi "keyakinan" masing-masing itu tidak bisa diremahkan. Pemerintah biasanya menghindari perdebatan yang polaristis, tapi pakai "bahasa" apapun adanya faham-faham itu di tiap kebijakan tidak bisa dihindari. Ada yang menganggap faham-faham itu "produk impor", tapi tanpa pakai teori sekalipun kita juga tahu mana kebijakan yang "pro pemodal" dan "pro rakyat."Ini bukan soal "nelayan tidak boleh kaya dan sekolah tinggi", tapi pendekatan pembangunan. Seseorang bisa saja kaya dan sekolah di FE-UI tapi rekomendasinya "pro rakyat" bukan "pro modal".

Mana yang lebih benar? Data empiris lah mungkin jawabannya. Tapi kelihatannya "debat pembangunan" ini bisa jalan sepanjang masa. Ini karena masing-masing tak pernah menemui kondisi "ideal" untuk menuntaskan implementasi kebijakan atau rencananya.Yang konservatif menghadapi realita masyarakat negara sedang berkembang dan perilaku kapitalis yang menggurita, kawin dengan kultur KKN birokrasi. Sedang yang "pro-rakyat" umumnya kurang fokus, kebanyakan isu yang diusung, dan suka ribut sendiri.

Kesimpulannya, tidak ada salahnya mengenali peta pandangan, faham atau mazhab tersebut, supaya bisa mengantisipasi implikasi dari setiap pendekatan atau pilihan kebijakan. Sebagai exercise setidaknya kita bisa tahu dinamika "tesis vs anti-tesis, untuk mendapatkan sintesis", sperti pada kasus UU27/2007 ini sebagai dinamika pemelajaran analisis kebijakan. [Risfan Munir]

Thursday, February 12, 2009

Kawasan Ekonomi Khusus (Free Trade Zone)

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), atau perpaduan Free Trade Zone (FTZ) dan Export Processing Zone, yang diusulkan oleh pemerintah dalam rangka mengundang investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rupaya banyak diminati daerah.

Meskipun masih berupa RUU tapi daerah yang mengajukan sudah banyak. Entah apa yang sesungguhnya membuat mereka begitu berminat, mungkin pertimbanan oportunis saja untuk memanfaatkan peluang apapun. Kalau alasan rasional, wajarnya menyangku: (1) peluang mengundang investor terutama dari luar (FDI) untuk mendaya gunakan sumber daya setempat; (2) untuk membuka pintu gerbang bagi ekspor produksi daerah; dan lainnya.

Sebagaimana diberitakan Harian Kompas, fasilitas dan insentif fiskal itu di antaranya fasilitas pajak penghasilan, tambahan fasilitas pajak penghasilan sesuai karakteristik zona, fasilitas pajak bumi dan bangunan, tidak dipungut PPN dan PPnBM, bebas PPh impor, dan sejumlah kemudahan fiskal lainnya. Sedangkan untuk insentif non-fiskal di antaranya pengurusan pertanahan, pengurusan ijin usaha, keimigrasian, dan sejumlah kemudahan lainnya.

Berita yang sama juga menyebutkan Sekretaris Tim Nasional Pelaksana KEK Indonesia Bambang Susantono mengatakan, dari 18 yang mengajukan, 15 provinsi yang siap untuk diproses adalah Sumatera Utara,Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

Semoga daerah yang mengajukan minat cukup menyadari, bisa dan punya kemampuan serta potensi dalam memanfaatkannya. Ini mengingat bahwa KEK membebaskan dan memberikan keringanan kepada investornya dalam hal pajak dan retribusi, kemudahan-kemudahan urusan. Karena kalau tidak pandai memanfaatkan kehadiran investor untuk tujuan yang lebih luas dari sekedar menarik retribusi, maka daerah justru akan "tekor." Bukan untung tapi malah buntung.

Keutungan yang bisa diharapkan antara lain, dengan aktivitas investor dan pekerjanya, maka akan banyak kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya jasa pelayanan, restoran, hotel, jasa medis, pedagang dan kegiatan ikutannya akan ikut menikmati. Kalau berhasil menjadi gerbang bagi ekspor produk daerah, maka multiplier effects dari ekonomi ekspor itu akan membesar. Menyerap angkatan kerja setempat dan kabupaten/kota sekitar. Bagaimana memperoleh keuntungan dan manfaat ini harus diperhitungkan betul, bukan hanya mengandalkan asumsi atau kepentingan membangun prasarananya saja.

Harus diperhitungkan pula biaya pembangunan kawasan tersebut. Sumber dananya darimana, pembebanannya (pembayaran cicilan hutang dan bunganya) ke masa depan bagaimana?

Sebuah opini yang ditulis oleh Edy Burmansyah pada harian Kompas (10-2-2009), mengingatkan kita akan beberapa kerugian dan risiko terkait pengembangan KEK, yaitu antara lain: (1) pembangunan infrastuktur KEK membutuhkan investasi yang besar, yang kalau tidak hati-hati akan menjerumuskan daerah dalam hutang. (2) pembangunan KEK di sejumlah daerah seperti membuka pintu bagi penyelundupan. Pernah insentif fasilitas dimanfaatkan untuk mengganti label produk tekstil China menjadi seolah dibuat di Indonesia lalu diekspor ke USA. Akibatnya, kuota ekspor Indonesia terambil. Ini adalah sebagian dari risiko yang harus dihadapi.

Pada saat posting ini ditulis RUU tentang KEK belum disetujui oleh DPR, dan sebagaimana diketahui pada saat ini siding-sidang DPR sudah banyak tidak quorum-nya, karena mereka sudah mulai menyiapkan kampanye untuk Pemilihan Umum di bulan April 2009. [Risfan Munir]

Spatial Economy - Urban Informal Sector

Semakin mantap kalau sudah ada cantolan dari UUPR. Dan kalau difokuskan masalah sektor informal perkotaan terkait aspek spatialnya, bisa dilakukan klasifikasi.

Secara sederhana antara lain bisa dikenali sektor informal (SI) berdasarkan kekritisan gangguannya, sehingga penataan ruangnya perlu diprioritaskan. Paling urgen, misalnya, yang telah menimbulkan gangguan lalu-lintas, keamanan, seperti di sekitar pasar, di perempatan tertentu. Selanjutnya di sekitar taman, di lingkungan perkantoran, di sekitar perumahan, dan seterusnya. Besarnya jumlah pelaku sektor informal ini membutuhkan prioritas penanganan.

Sebagian bisa diberi lokasi ”formal” seperti dilokalisir, tetapi tentu tidak semua mengingat jumlahnya. Sehingga ukuran kuantitatif x% seperti ruang terbuka hijau (RTH) tidak bisa diterapkan. Dan, lokalisasi itu tidak bisa mencegah hadirnya SI ditempat lain.

Kedua, yang munculnya menurut waktu, seperti ”pasar pagi/subuh”, ”pasar senggol” baik untuk pedagang sayur atau makanan. Yang ini sifatnya bisa ”time share”, yang penting setelah selesai harus betul-betul bersih.

Ketiga, yang sporadis, muncul satu dua di mana-mana.
Keempat, yang mobile, pedagang keliling, tukang sol sepatu, tukang bunga. Mereka ini kadang pada jam-jam tertentu juga berhenti, berkerumun di tempat tertentu.

Kelima, yang berusaha di rumah-rumah. Memang ini tisak termasuk SI dalam definisi lama. Tetapi dengan makin “galaknya” inspeksi tata ruang atas fungsi rangkap perumahan, mereka menjadi sulit. Padahal kalau orang kena PHK atau pensiun, paling gampang ya wirausaha di rumah sendiri.

Dalam menghadapi fenomena dan kategori SI di atas, ada intervensi yang sifat ”perencanaan”, tapi sebagian (kategori 2, 3, 4) menyangkut ”manajemen ruang” (satu aspek dari ”pemanfaat dan pengendalian” tata ruang). Sehingga selain peta tata ruang yang sifatnya “fixed”, mungkin perlu juga peta “lokasi yang boleh untuk SI dengan persyaratan tertentu” yang berlaku untuk jangka waktu tertentu pula.

Yang terakhir ini untuk menjawab situasi ”buah simalakama” pengelolaan ruang terkait SI. Karena kalau diijinkan penuh akan mengundang ekses ”kawan-kawannya berdatangan” tapi kalau dilarang 100% juga percuma.

Aspek lain adalah menyangkut partisipasi dan ”ijin” komunitas setempat. Kepada komunitas ini juga perlu disadarkan bahwa ”mengusir terus” tidak bisa, tapi membiarkannya tidak teratur dan menimbulkan gangguan juga tidak. Kesimpulannya, disamping aspek ”perencanaan ruang” juga perlu ”manajemen pemanfaatan ruang”. Begitukah? [Risfan Munir]

Wednesday, February 11, 2009

Spatial Economy - Sektor Informal di Perkotaan

Mereka yang buka usaha harus punya tempat (resmi), milik sendiri atau sewa. Benarkah demikian?

Ada jutaan warga tidak punya rumah. Mereka menumpang di sana-sini. Ada jutaan warga yang bukan karyawan. Mereka berusaha membuka usaha mikro ala kadarnya. Boro-boro sewa tempat, modal kerja saja harian, atau jual jasa saja.
Apakah negara ini akan terus melarang dan memburu mereka? Padahal jumlah mereka jutaan, juga jasa dan produknya dikonsumsi, alias dibutuhkan?

Karena mereka tidak mampu beli/sewa ruang, jadi mereka (nekad) memanfaatkan ruang-ruang "publik" sebagai tempat usaha. Padahal "ruang publik" itu menurut rencana tata ruang memang untuk publik (dikosongkan). Maka kehadiran pedagang atau penghuni itu dianggap "liar".

Fenomena ini dipertajam dengan kenyataan bahwa bagi pengusaha informal itu juga berlaku teori lokasi. Artinya dagangan atau jasanya memerlukan lokasi strategis untuk menarik pembeli/ pelanggan. Maka yang terjadi adalah struggle, dan persaingan dalam memperebutkan lokasi strategis itu. Yang repotnya, itu di perempatan, di sekitar pusat perbelanjaan, perkantoran yang ramai, padat lalu lintas. Atau di taman yang harusnya jadi unsur keindahan kota.

Dalam menangani fenomena ini, barangkali yang pertama-tama dilakukan ialah menyadari bahwa kehadiran mereka tak dapat dihindari. Kota akan ramai, tapi memang realita negara kita punya jutaan warga yang tak bisa beli/sewa tempat formal. Dan, negara juga tidak bisa menyerap mereka sebagai karyawan swasta atau PNS. Pemerintah selalu berharap kalau economic growth naik sekian persen, akan menyerap sekian ribu pekerja. Tapi kenyataan 64 tahun merdeka backlog masih besar. Mungkin 36 tahun lagi juga belum tentu ngejar. Jadi itu realita kota-kota kita, kan rencana mesti berbasis fakta juga.

Tata ruang di negara seperti Indonesia, apakah memang disusun hanya untuk mereka yang mampu menyewa atau punya lahan/ruang.

Pada umumnya Pemkot (masalahnya kebanyakan di kota ya) bersikap mendua. Maunya melarang, tapi bagaimana wong jumlah usaha informal itu begitu besar. Di usir sebentar juga datang lagi. Mau ngasih tempat, juga kalau ada cuma di pinggiran kota yang sepi. Para usahawan mikro akan berdatangan lagi ke tempat ramai. Maka yang terjadi ialah "perang gerilya". Diusir, digusur, lalu didiamkan, lalu diusir lagi. Mungkin karena gejala ini, di banyak tempat mereka "dibolehkan" tapi harus "beroda" supaya mobile. Sewaktu-waktu, karena sebab tertentu, bisa diminta pergi. Atau ini strategi si pengusaha informal itu sendiri untuk seolah temporer. Jadi seperti "tidak menempati ruang" secara tetap.

Masalahnya sebetulnya adalah dampak "gangguan" yang ditimbulkan. Apakah itu kemacetan, kebersihan, keamanan, keindahan, dst. Bagaimana mengurangi risiko "gangguan" ini? Jadi kalau toh tak mungkin menolak kehadirannya, setidaknya mengurangi risiko "gangguannya."

Dari kota ke kota, sebetulnya sudah banyak "kiat dan strategi" yang diterapkan. Mulai dari yang betul-betul memindahkan dan memberi tempat yang dari segi bisnis. Yang meminta pusat perdagangan modern memberi tempat. Yang memindahkan ke pinggir kota yang sepi (ini banyak gagalnya). Yang menertibkan (bukan mengusir) dengan menyeragamkan gerobaknya. Yang menerapkan "time share" yaitu boleh pada jam tertentu di zona atau jalan tertentu.
Itu dari segi penanganan fisiknya. Sedang dari segi kelembagaan dan pendekatan sebagai kelompok usaha yang perlu difasilitasi juga ada bervariasi pendekatan. Dari yang berupaya memberdayakan atau "memanusiakan" mereka, mendekati lewat kelompok, hingga yang main mengandal kan pasukan tibum saja.

Pendekatan penataan ruang sementara ini bersifat rigid, kaku. Membuat rencana lalu mencoba menegakkan lewat mekanisme perijinan, atau pembangunan prasarana. Mungkin perlu ditambah pendekatan yang lebih "dinamis" atau pendekatan "manajemen ruang" (spatial management). Terutama flexibilitas dalam mengelola "ruang-ruang publik" untuk memberi peluang kepada "pengusaha" sektor informal dengan sistem ala "time share."

Melakukan pendekatan kelompok (community development) untuk memberdayakan usahanya, agar kalau nasib baik berubah jadi "formal." Menyediakan ruang atau membangun tempat di pinggiran kota bisa dilakukan asal dalam kelompok, sehingga bisa dicapai economic of scale untuk menarik pengunjung ke situ.

Klasifikasi atau tipologi dari pengusaha informal di satu kota perlu dilakukan. Serta bagaimana pola relasinya atas ruang. Ada pedagang bunga, tukang sayur, tukang baso, tukang sate, tukang loak barang bekas, penambal ban, dst. Ada yang menetap, ada yang keliling, ada yang musiman, ada yang jam-jaman.
Pola relasi di antara mereka. Ada yang betul-betul mandiri, ada yang berkelompok berdasarkan lokasi usaha, daerah asal, dst. Ini akan menentukan pola pemberdayaannya.

Soal pembinaan atau pemberdayaan sektor informal perkotaan ini selalu dilematis. Mengundang kontroversi. "Pelanggar aturan" kok dibantu. Tapi kalau pengelola kota, penata ruang melihat statistik tenaga kerja nasional, sejarnya dari masa ke masa. Nampaknya itulah corak realita urban area di Indonesia, disuka atau tidak.

Meminjam kata M Yunus, founder Grameen Bank, "mereka bukan miskin, hanya punya sedikit."

Sekali lagi, kalau urban planner atau regional planner bilang "urbanisasi", dalam situasi deindustrialisasi, maka itu berarti "pseudo-urbanization" alias membengkaknya jumlah sektor informal. [Risfan Munir]

Friday, February 06, 2009

Informal Sector and Stimulus Fiskal


Akibat krisis keuangan global, di Indonesia PHK bisa mencapai 200 ribu orang, kata Kepala Bappenas (Kompas, 6-2-09). Berita lain Malaysia secara bertahap akan memulangkan TKI hingga 2 juta orang.

Angka 200 ribu itu menurut sebagian ahli terlalu kecil, karena hanya yang tercatat. Masih banyak lagi dari usaha mikro atau sektor informal yang menghentikan usahanya karena krisis yang tak tercatat dalam statistik.

Sektor informal yang dianggap katup penyelamat ekonomi masyarakat itu rupanya juga menjadi penyelamat pemerintah karena meringankannya dari tuntutan penyediaan lapangan kerja, atau kegagalan.
Bisa dibayangkan kalau tidak ada sektor informal maka statistik pengangguran bisa berlipat. Dengan adanya sektor informal, maka kalau warga mengasong koran, rokok, permen, jaga sandal di masjid, jadi pak ogah, sudah masuk kategori orang yang bekerja.

Para regional planner bisa bilang dengan urbanisasi maka ekonomi tumbuh, masalah kelebihan penduduk di perdesaan teratasi. Itu di negara maju. Mana mungkin terjadi di negara berkembang yang mengalami deindustrialisasi dari sektor industri yang terbatas itu. Jawabannya adalah karena ada sektor informal yang memberi pekerjaan para migran ke kota itu. Walaupun cuma sebagai penjual makanan keliling, tukang gado-gado, bakso, warung tegal, atau aneka calo di terminal, stasiun atau di jalanan.

Urban planner, perencana tata ruang kota Jakarta , Surabaya, Medan, Makasar bisa bangga dengan jalan utama kotanya diisi deretan gedung megah. Seperti jalan Sudirman, Thamrin, Rasuna Said di Jakata. Kalau melihat deretan sky-line deretan pencakar langit itu terkesan kemakmuran kota, setidaknya karyawan yang kerja disitu. Tapi lihatlah jalan-jalan kecil dibalik itu. Deretan warung tenda, warung dorongan, Sogo jongkok tempat mayoritas karyawan makan dan belanja. Kantor dan gedung megah tak menyediakan tempat makan dengan harga terjangkau. Maka pedagang di sektor informallah penelamatnya. Apakah lokasi berdagang mereka diakui? Itulah soalnya.

Besarnya sektor informal ada menyebut 69,9% dari jumlah pekerja. Statistik lain juga mengatakan 96,2% pekerja pada usaha mikro & kecil, sementara 99,9 % perusahaan adalah mikro dan kecil. Boleh dikata yang disebut usaha mikro itu umumnya ya informal. Mungkin bisa disebut ekonomi rakyat.

Tanpa berdebat soal definisi, bisa dikatakan sektor informal ya usaha/kegiatan ekonomi yang "ada tapi tiada". Artinya ada, exist, sebagai kumpulan diakui sebagai suatu "konsep", kita terlibat sebagai konsumen, bahkan sebagai pelaku "sambilan." Tapi tidak mengakuinya secara formal. Tidak memasukkannya dalam kebijakan pembangunan daerah, tata ruang kota.

Akibat situasi yang "mendua" (ambigu) ini, maka sektor kegiatan yang merupakan mayoritas ini tak masuk dalam "kebijakan" dan program fasilitasi pemerintah. Selalu dikatakan sebagai "katup/dewa penyelamat" ekonomi. Tapi kehadirannya diingkari.
Bagi perbankan dianggap unbankabel. Oleh penata ruang kota dianggap pelanggar land-use. Oleh satpol PP sering di "tertibkan" dan dikejar-kejar, dst.

Bagaimana mereka bisa berdaya, mentas jadi formal kalau kondisinya dibuat "infant" terus. Baru untuk bernafas lega, bisa nabung dikit, sudah "ditertibkan", diporak porandakan asetnya.

Yang diperlukan, barangkali, ialah pengakuan akan kehadiran mereka secara "konsekuen." Kalau dianggap "katup penyelamat", ya terima kehadirannya. Fasilitasi kebutuhannya untuk tumbuh dan mentas. Ibarat kupu-kupu yang kita akui keindahannya, asalnya kan dari ulat yang menjijikkan, menakutkan. Setelah lewat jadi kepompong, akhirnya mereka menjadi kupu-kupu.

Untuk itu pendekatan yang bisa disarankan dua arah, kombinasi "uluran tangan" (top-down) dan pemberdayaan melalui pengorganisasian (bottom-up)melalui pembentukan kelompok-kelompok.
Kita tidak bisa memaksa sarana pelayanan menjangkau penuh seluruh individu sektor informal. Di sisi lain, harus didorong untuk mengorganisir diri untuk membentuk kelompok-kelompok. Untuk memudahkan fasilitasi.

Ada membran atau "lapisan tipis" yang memisahkan sektor formal dengan sektor informal. Diperlukan peran atau aktor yang menjembatani keduanya. Meskipun kita menggunakan istilah "formal vs informal", yang diperlukan bukanlah kebijakan dan sikap yang memisahkannya. Istilah yang digunakan dalam saran World Bank Report 2009: New Economic Geography, agar inclusive dan integrated.

Dalam hal ini dunia usaha justru lebih berhasil. Mereka telah terbiasa menyertakan sektor informal dalam mata rantai pasokan (supply chain) proses produksinya, maupun mata rantai distribusi pasarnya. Mata rantai pemulung dan hirarkhi pengumpul dan para juragannya selalu siap mengumpulkan sampah kertas karton, plastik dari semua kota di pulau Jawa untuk jadi bahan baku recycling industries di Surabaya, Mojokerto, Pandaan dan sekitarnya. Sebaliknya untuk sistem distribusi pemasarannya, berbagai perusahaan consumer goods seperti Unilever, ABC group, perusahaan makanan minuman seperti Indomie, Teh Botol, jamu Sidomuncul, Jago dan sejenisnya, rokok Sampurna, Gudang Garam dan sterusnya, penerbit koran dan majalah seperti Kompas, Tempo dan lainnya, telah biasa menganggap warung-warung di jalan, di pojok, di mulut gang, newstands, pengasong sebagai bagian dari sistem distribusi yang efektif dan signifikan. Terutama untuk mengimbangi dominasi sistem distribusi formal yang didominasi (didikte) distributor besar, hipermarket, supermarket, minimarket yang itu-itu juga.

Semua perencana tahu, ada gap, backlog, antara kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan) dengan jumlah yang bisa disediakan. Pemerintah dan swasta formal dari jaman kolonial hingga 65 tahun Indonesia merdeka belum berhasil menutup gap atau backlog itu. Sektor informal, atau upaya swadaya masyarakat sendiri itulah "katup penyelamat"nya. Tapi seberapa jauh mereka telah masuk dalam pertimbangan kebijakan, alokasi ruang, alokasi anggaran. Ada pesan yang mengatakan, "kalau tak bisa membantu, setidaknya janganlah mempersulitnya."

Mestinya kebijakan Stimulus Fiskal yang sedang diluncurkan juga melibatkan sektor informal sebagai salah satu kelompok sasaran.[Risfan Munir]