Saturday, October 22, 2005

Karsten's harmony

Di masa pancaroba ini, barangkali ada manfaatnya mengenang satu model ahli planologi seperti Thomas Karsten, yang jejak fisik karyanya sangat mewarnai kota2 besar di Jawa (mesti banyak diabadikan sebelum semua jadi ruko).

Karsten yang awalnya belajar teknik mesin lalu pindah ke sipil, dan belajar desain kota lewat pengalaman ternyata seorang yang kuat visi sosial budayanya. Sehingga ada sebutan social engineer. Bicara tentang Colonial Designs, mau tak mau menyebut namanya. Dalam kurun masa kerja dari 1915-1941 ia mewarnai bentuk 12 kota di Jawa, 3 kota di Sumatera, 1 kota di Kalimantan.

Meski dalam bingkai kolonial kala itu, Visi desainnya senantiasa menekankan harmoni. Ini terutama menanggapi keterpisahan kelompok warga yang berlatar belakang ras dan kelas ekonomi, yaitu antara: warga Eropa, China, dan kaum pribumi (kaya vs penghuni kampung). Ini layak dikaji karena di masa kini pembangunan "new town" tidak sudi mempertimbangkan kampung sekitar.

Bahkan sekat2 di antara kompleks antar golongan itu tidak dibuat eksplisit, tapi disamarkan dengan "a water course, a square, a grass-field, a hill and a group of trees."
Kepeduliannya pada perbaikan kampung urban, dimotivasi oleh niatnya untuk emansipasi dan character building, menyadari kebutuhan transformasi sosial-budaya kaum marginal ini untuk mengintegrasikan diri dalam harmoni masyarakat urban. Sehingga kampung layak mendapat air bersih, sanitasi yang layak.

Kalau boleh meng istilahkan "appropriate", ia memang tidak mengusung arsitektur tradisional ke kota, tetapi berusaha menghadirkan alam asli dengan banyak menyediakan "tree-lined boulevards, squares, vistas, and neighbourliness" sehingga terasa manunggalnya lingkungan buatan dengan alam sekitar. Ini masih terasa di beberapa site di kota Malang (sekali lagi cepat difoto sebelum jadi mall).

Sebagai ahli planologi Karsten juga aktif dalam polemik budaya, bahkan ikut mendirikan beberapa majalah. Pandangannya mencerminkan "Belanda yang baik", yang percaya pada harmoni dan perubahan yang berkelanjutan (bukan revolusi). Dia percaya bahwa masa depan ada pada bangsa Indonesia, karena Belanda mulai keropos akibat ekses kapitalisme yang individualistik, padahal yang dibutuhkan adalah semangat komunalisme, gotong-royong yang masih dimiliki komunitas pribumi (kala itu tentunya).

Kalau melihat setting historisnya cukup menarik, karena kala Karten berkiprah sebagai konsultan (pada Pemda dan para tuan-tanah China) terjadi tuntutan desentralisasi oleh gemeente terhadap kekuasaan pusat. Namun giliran untuk pembangunan kampung urban, gemeente minta dana dari pusat, dengan argumen bahwa kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab pusat.

Rupanya kala itu (1920an) masalah otonomi desa juga sudah ada, karena ada saat kekuasaan gemeente tidak bisa masuk ke desa/kampung. Walau segera dianulir dengan dasar necessity untuk "mendidik" komunitas pribumi.
Juga konflik antar ras/etnik rupanya juga sudah jadi masalah laten, sehingg kian menarik untuk jadi pelajaran bagaimana Karten menjawab masalah tersebut dengan desain urban yang menekankan harmoni. (Ecoplano)

Thursday, October 20, 2005

Warisan arsitektur kota

Menariknya, bicara planning memang bisa dari aspek social, ekonomi, spatial ataupun arsitektural. Lebih menarik karena selagi membaca tanggapan pak Wawo ini, kebetulan saya ngenap di Hotel Majapahit (ex Oranje Hotel, van de orloog). Hotel dimana peristiwa bersejarah bagi kota pahlawan Surabaya dan Indonesia, dimana arek2 Suroboyo merobek warna biru pada bendera Belanda, menjadi merah-putih.

Hasil renovasi cukup sempurna, baik interior, furniture maupun pertamanan-nya. Hanya seperti renovasi bangunan umumnya, kondisi lingkungan memang sudah berubah banyak dan kurang mendukung setting bangunan ini. Setidaknya ini mengingatkan saya pada bangunan2 publik di kota Malang hingga awal 70an, baik sekolah, rumah sakit, apotik, perpustakaan umum, hingga stasiun kota yang konsisten art-deco.

Barangkali ada era dimana kota sempat begitu “baik” seperti kota Malang, yang kompleks stadion nya terdiri dari 4 lapangan bola, 5-6 lapangan tennis, kolam renang, gymnasium, lengkap dengan bangunan2 istirahat dan cafĂ© nya.Arsitektur rumah yang congruence, site plan yang punya banyak open-space, punya banyak surprise. Jajaran pohon mahoni, saga, kenari dst. Juga Ijen boulevard dengan barisan pinang 2 lapis kiri dan kanan (di jalan Pasteur Bandung cuma satu baris, pun sudah dibabat). Ini peninggalan Thomas Karsten yang sungguh mengesankan.

Bukan itu saja, kampung2 kala itu juga tertata baik, setidaknya pola jalannya mengikuti pola tulang ikan, sehingga drainase mudah dibangun dan dipelihara (sampai saat ini).
Ada “cluster” lain, sekitar “kota lama” Malang kala itu masih banyak bangunan rumah (orang kaya/pembesar) etnis China yang luas halamannya ¼ alun2 sendiri, dikawal 4 patung singa, beberapa pohon tanjung meneduhi halaman. Konon ada belasan warga keturunan China yang punya “pangkat” begitu. Sayang semuanya saat ini sudah menjelma menjadi pertokoan (mungkin dibalik ruko2 bangunan asli masih ada).

Kalau melihat prasastinya, Hotel Oranje dibangun th 1910. Tapi saya tidak tahu, design meneer Karsten itu di kota Malang direalisir pada decade mana? Yang jelas awal 1930an kota Malang yang ditopang ekonomi perkebunan sekitarnya juga terlanda dampak malaise/great-depression, lalu mid 40an mulai pergolakan revolusi. Mungkinkah awal 50an warga Belanda berkesempatan membangun ini-itu, sebelum kebun2 dan pabrik gulanya di nasionalisir awal 60an?

Satu hal yang mudah, tapi kok tidak bisa diteruskan saat ini, yaitu menanam dan melestarikan pepohonan jalanan. Jalan Sudirman, Kuningan di Jakarta misalnya, mestinya setelah Ali Sadikin nanam angsana, perlu diikuti mahoni atau dammar yang berumur lebih panjang. Tapi kok tetap angsana, dan akhirnya ditebang juga untuk monorel. (Ecoplan)

Saturday, October 15, 2005

Community Dev. vs Conventional Planning

CD vs conventional planning approach. Ya ini adalah perdebatan panjang, di sekolah dan di lapangan.

Kalau buka teori sedikit, barangkali perlu disadari bahwa keduanya memang bertitik tolak dari paradigm yang beda. Conventional planning sifatnya lebih berdasar pendekatan kuantitatif, deduktif, lebih mengasumsikan pekerjaan planning seperti arsitek yang membuat blue-print, semua resources sudah disediakan oleh owner.

Sedang pendekatan yang berbasis partisipasi komunitas seperti CD, lebih berbasis teori yang sifatnya kualitatif, induktif (realita lapangan, masyarakat) yang spesifik. Asumsinya, tidak ada yang tahu kebutuhan dan resources setempat, kecuali warga setempat. Pendekatan ini banyak berkembang karena realita pendekatan pembangunan konvensional tidak pernah sampai menjangkau mereka.

Jadi kalau kita saling tuduh, yang satu jelek apanya, yang lain jelek apanya. Mungkin boleh saja, asal kita tahu proporsi dan peran masing2.

Pendekatan conventional planning, bagus secara konsep komprehensif, bervisi jauh ke depan, dst. (kita umumnya terdidik untuk ini). Tapi kelemahannya, rakyat setempat tidak dilibatkan dari awal. Dan yang pokok, asumsinya bahwa the owner punya resources (pemilik bangunan bagi arsitek) dalam kasus pembangunan kota umumnya tidak terpenuhi. Apalagi saat ini pemerintah selalu kesulitan pembiayaan. Sehingga menanti realisasi janji masterplan konvensional seperti ini akan berat. Dalam kasus Aceh, sudah mulai terjadi demo oleh masyarakat setempat yang tidak sabar, karena jangankan realisasi, kesepakatan pakai masterplan yang mana juga belum kunjung tuntas. Justru beberapa kegiatan di tingkat komunitas yang sudah mulai banyak membangun.

Saya kira sejak proyek2 UDP ala P3KT diluncurkan 15an tahun yang lalu, dalam guideline-nya sudah ditegaskan bahwa prasarana & sarana pada dasarnya adalah tanggung jawab masyarakat/warga. Dengan begitu pemerintah jauh hari mengakui bahwa resources untuk membangun itu terbatas. Nah kalau begitu, boleh dong masyarakat berpartisipasi.
Apalagi saat ini hutang kita sudah sangat mencekik APBN. Hutang untuk pembangunan sebelumnya. Dan harus sangat sangat disadari, beban pokok dan cicilan hutang itulah yang antara lain membuat harga minyak dinaikkan, dan menimbulkan kesengsaraan mayoritas yang sangat nyata.

Saya kira sebagai planner juga perlu ikut memikirkan bagaimana mengurangi beban belanja negara, antara lain dengan mempertimbangkan masterplan yang menginspirasi proyek konvensional skala besar, yang haus hutang. Mungkin saat ini infrastruture kita sudah lumayan, sehingga bukan itu cara untuk menarik investor asing (kalau ini masih dijadikan alasan) Yang paling dibutuhkan adalah kepastian hukum dan keamanan. Kalau rakyat marah karena hidup sengsara, apa ya investor asing akan datang?

Namun harus disadari bahwa merencana dan membangun di tingkat komunitas juga punya keterbatasan, seperti yang dituduhkan teman2, karena makin rendah elevasi kita, jarak pandang juga tidak terlalu jauh. Tapi sekali lagi ini workable, banyak kasus menunjukkan bahwa resources masyarakat itu memadai untuk membangun lingkungannya sendiri, asal mereka ajak sebagai aktor sejak awal, asal perencana tidak merecokinya dengan standar yang dibawa dari Jakarta. Kadang2 kita buka buku arsitektur tradisional, lalu kita paksa masyarakat kembali ke tradisi. Tradisi yang mana? istana rajanya atau gubuk rakyatnya. Lha kalau gubuk, mau tradisional atau masa kini kan ya atap rumbia .........Itu tidak appropriate (ah ini istilah jaman Development Technology Center-nya pak Wawo). Harus ditanya dan dipelajari betul2 dari pola dan kebutuhan hidup mereka actual saat ini.

Sudahlah, dana tak ada, hutang kian mencekik leher, realistis saja lah. Jangan sombong anti rakyat segala, wong hutang yang diandalkan juga tidak ngucur2. Kalau sudah dikejar kreditor dengan sangsi dan tekanan lalu ngata2in IMF, WB imperialis. Tapi merencana ruang dan prasarana untuk merangsang hutang terus.

Kalau mimpi kita adalah membangun ala "kota-kota baru", disana tidak muncul masalah publiknya (dalam waktu dekat), sehingga planner tidak dibutuhkan di situ (kenyataan). Kian hari kota baru yang dibangun oleh bankers itu (bukan lagi oleh developer murni ala Ciputra lho sekarang) makin dikaitkan dengan property investor langsung dari luar negeri yang syaratnya juga membawa planner/arsiteknya dari sana. Ini juga masalah yang perlu dihadapi sebagai profesi.

Kesimpulan:
Pertama, masalah paradigma kuantitatif/deduktif vs. kualitatif/induktif itu ada dasarnya konsep dan teorinya masing2, dan panjang riwayatnya (ada ilmunya ini), jadi sebaiknya tidak kita simplify dengan "wadan-wadanan" (olok-olok) kayak anak kecil yang debat: lebih hebat mana "Superman vs Spiderman" gitu.
Kedua, mungkin justru di "ruang antara warga dan pemerintah" lah peran planner sesungguhnya dibutuhkan.

Idealnya sih kedua pendekatan itu bisa dimainkan bersama.

Thursday, October 13, 2005

Real estate growth?

Dominasi sektor perbankan, dan macetnya pertumbuhan sektor riil. Memicu perbankan untuk mencari penyaluran dana dengan mendorong tumbuhnya real-estate/property, karena sektor manufaktur sulit diharapkan akibat tekanan persaingan dari produk import. Dapat diamati bahwa pembangunan real-estate umumnya disponsori oleh group yang memiliki bank besar.

Jadi pertumbuhan real-estate saat ini mungkin bukan dipicu oleh permintaan riil masyarakat, tapi didorong oleh sektor perbankan, dan bujukannya kepada investor (pembeli bermotive investasi). Hal yang perlu diteliti apkah harga jual real-estate itu wajar, atau "rekayasa" guna menyenangkan konsumen bermotif investasi.